Berita kriminal yang kerap menghiasi berbagai media, terlebih semakin banyak stasiun TV menyajikan tayangan khusus peristiwa - peristiwa kriminal semakin mengakrabkan kita dengan kejadian - kejadian kejam dan mengerikan. Bahkan tidak jarang, membuat hidup kita semakin tidak nyaman karena bayang - bayang kejahatan terasa begitu dekat. Ada satu pertanyaan yang cukup mendasar, kenapa ada manusia - manusia yang tega berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan kejam yang merugikan dirinya bahkan mungkin orang lain? Percayakan anda jika pertanyaan itu dijawab hanya dengan satu jawaban singkat, "Ada yang bermasalah dengan salah satu fungsi otak manusia tersebut".
Apa hubungan antara perilaku kejam seseorang dengan perangkat otak? Tentu saja ada. Pada tahun 1980 di Sacramento, seorang laki - laki yang berulang - ulang melakukan perilaku kejam datang ke rumah sakit menyampaikan keluhannya. Ternyata dokter yang menangani menemukan adanya tumor di otak yang menekan sistem limbic sehingga aktif terus. Setelah dilakukan operasi dengan mengangkat tumor tersebut, pola prilakunya yang kejam hilang sama sekali. Percobaan yang sama dilakukan (Restak, 1984) dengan menggunakan elektroda yang dihidupkan pada seekor tikus dan sapi, lalu terlihat reaksi munculnya perilaku yang agresif dan liar dari kedua hewan tersebut. Elektroda tersebut ditempatkan untuk merangsang peran sistem limbic. Sebaliknya, bila rangsangan elektroda pada sistem limbic dihilangkan, maka prilaku kedua hewan tersebut normal kembali.
Seperti yang kita ketahui, otak manusia terdiri dari beberapa bagian yakni Neocortex (rational brain) yang juga disebut the cerebral cortex, sistem limbic (emotional brain), satu bagian otak yang memiliki spesialisasi dalam fungsinya dengan emosi, berperan aktif dalam memori dan lain sebagainya. Dan satu bagian lagi disebut Reticular Activating System (RAS) yang berfungsi sebagai saklar (toggle switch) untuk menghubungkan atau memutus sistem limbic dengan neocortex.
RAS ini yang mengendalikan apakah otak emosional ataupun otak belajar/rasional sedang bekerja. RAS ini jugalah yang akan mengatur apakah kita santai atau emosi kita sedang naik. Sebagai contoh dalam keadaan kaget misalnya, RAS ini akan memutuskan hubungan ke cerebral cortex atau otak belajar. Pada saat yang sama, sistem limbic berada pada kedudukan sentral dan kemampuan nalar kita hilang. Pada saat itulah dapat kita melakukan gerakan otomatis tanpa dipikir lagi alias refleks. Misalnya, ketika jari tersentuh api kita akan segera menarik jari tangan tanpa harus menunggu perintah. Bila kita dalam keadaan normal secara emosional maupun santai, RAS membuka kembali hubungan sistem limbic dan cortex. Posisi ini memungkinkan kita menggunakan logika atau nalar dan mengembangkan kreativitas pada kedudukan sentral. Peran RAS ini begitu penting supaya manusia dapat bertahan hidup atau agar manusia mampu menikmati hidup. (Taufik Bahaudin, Brainware Management, 1998).
Pemindahan (switching) dari RAS ini sangat strategis bagi manusia dalam menghadapi berbagai situasi dari waktu ke waktu. Tidak berperannya atau bahkan tidak sempurnanya RAS untuk memutuskan atau membuka hubungan antara cortex dengan sistem limbic berarti bencana bagi orang yang bersangkutan, bisa juga bagi orang lain. Dari studi yang dilakukan pada beberapa pelaku kriminal, terdapat gangguan antara lain berupa tumor pada otak yang membuat RAS tidak mampu melakukan perubahan (switching) secara sempurna –untuk membuka dan memutuskan hubungan antara cortex dengan sistem limbic- sehingga menimbulkan terjadinya perilaku yang kejam atau kurang berperasaan dari para pelaku kriminal tersebut.
Life is learning process, atau dalam bahasa Rasulullah Saw, “Tuntutlah ilmu sejak lahir sampai ke liang lahat”, nampaknya bukan sekedar kata-kata indah tanpa makna. Bahwa otak manusia merupakan amanah dari Allah yang mesti kita jaga dan pelihara sebaik-baiknya, adalah satu kewajiban. Caranya adalah dengan menggunakan otak tersebut secara maksimal, memanfaatkannya dengan membiasakan budaya belajar (learning culture) dalam lingkungan kita, lingkungan keluarga, kampus, kerja atau bahkan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Budaya kerja yang terbangun dalam diri seseorang (atau sekelompok orang) tentu akan membuat orang tersebut memiliki daya saing yang tinggi. Saat ini, memasuki abad ke 21, pepatah “Siapa yang kuat (besar) dia yang menang” sesungguhnya sudahlah usang. Karena yang berlaku dan wajib dimiliki sekarang untuk memenangkan persaingan -sifat dasar persaingan kini berubah dari berkompetisi (competition) menjadi berlawanan (adversary)- adalah kecepatan (speed) dan inovasi (inovation).
Lemahnya budaya belajar, yang sering menjadi satu masalah mendasar manusia, bukan saja menimbulkan akibat langsung pada terhambatnya seseorang menuju kesuksesan, bahkan lebih merugikan dari itu, matinya otak kita karena jarang difungsikan. Hukum yang berlaku pada sel-sel otak kita adalah “Anda pakai atau Anda kehilangan” – You use it, or you lose it. Dengan selalu menggunakan atau memanfaatkan kerja dari sistem sel-sel otak, kita sebenarnya justru menjaga dan menumbuhkan sel-sel otak itu sendiri. Dengan selalu menggunakannya, otak kita menjadi lebih padat.
Taufik Bahaudin (Brainware Management) menuliskan, Huttenlocher, Edelman dan Orsntein memberikan verifikasinya bahwa otak manusia dapat dikatakan memiliki sel-sel yang tidak terhitung banyaknya. Otak merupakan organ yang paling kompleks yang diketahui manusia saat ini. Perbandingan banyaknya sel otak manusia dengan binatang sangat jauh, otak seekor lalat buah memiliki sekitar 100.000 sel, otak seekor tikus memiliki 5 juta sel, otak seekor kera memiliki sekitar 10 miliar sel, sedangkan otak manusia memiliki sekitar 100 miliar sel.
Dalam sehari, sel otak manusia berkurang sekitar 100.000, kita tak perlu khawatir karena beberapa peneliti mengungkapkan bahwa matinya sel-sel itu telah berlangsung sejak saat kelahiran. Namun yang perlu diperhatikan, jumlah tersebut bisa bertambah sekitar 60.000 sel tergantung pada toksin dalam makanan atau minuman yang kita konsumsi, cara hidup kita, ataupun faktor-faktor lain. Disebutkan, alkohol dan obat terlarang (drugs), penyakit kronis, stress yang berkepanjangan, berbagai bahan kimia pada makanan (contoh: pengawet), udara kotor (antara lain yang mengandung timbel, karbon dioksida) serta pola hidup tidak sehat, adalah beberapa pemicu peningkatan jumlah matinya sel otak kita. Dan sel-sel yang mati itu, bisa dari ketiga bagian otak manusia, sistem limbic, cerebral cortex ataupun RAS. Itulah yang menunjukkan korelasi kenapa ada manusia yang (gemar) melakukan kejahatan atau perbuatan kejam. Jadi, ada korelasi yang kuat antara pola hidup yang tidak sehat, minimnya penggunaan otak, dan perbuatan kejam.
Lalu ada pertanyaan yang cukup beralasan, kenapa ada manusia yang tampak cerdas (smart) tapi masih juga melakukan kejahatan. Sementara disisi lain, ada orang-orang yang ‘tidak berpendidikan’ bisa berlaku sopan dan menyenangkan. Daniel Goleman, yang mengetengahkan betapa pentingnya seseorang terus mengasah emotional intellegence (EI)-nya dalam hal ini semakin terbukti. Bahwa ada orang yang cerdas bisa berlaku bodoh (berbuat jahat, kejam, termasuk dalam kategori bodoh). Dan mereka yang nampak tidak cerdas secara intelektual, namun mampu menjaga sikapnya sesuai dengan kaidah, norma yang berlaku, bisa jadi memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.
Dalam konsep zeromind (Ary Ginandjar, ESQ), kita selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah atau hati nurani sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dalam satu kaidah hadits Rasul juga disebutkan, bahwa fitrah manusia itu suci, lingkungannya-lah yang membuat mereka keluar dari atau tetap pada fitrah kesuciannya. Maka, dengan satu fakta nyata bahwa semakin sering digunakan otak akan semakin kuat, ditambah dengan terus mengasah kecerdasan emosi, seseorang manusia akan semakin cerdas dan tetap berjalan pada fitrahnya. Sebaliknya, malas dan tidak membudayakan belajar dalam hidupnya, akan semakin sulit membedakan manusia dengan kera, tikus, lalat atau bahkan binatang buas yang kejam. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama).
Sumber: http://www.eramuslim.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar